BERANDA

Senin, 19 November 2012

Disebut Kota Pendidikan, Mengapa?


SEKIAN lama kota Yogyakarta menyandang predikat sebagai kota pendidikan. Adanya predikat itu tentu memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya. Pertanyaan saya pun akhirnya mencuat, atas dasar apa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan? Karakter seperti apakah yang diperlihatkan kota Yogyakarta sehingga menyandang predikat tersebut? Saya terus mencari jawab atas pertanyaan itu.

Untuk mencari jawab atas pertanyaan itu salah satunya saya lakukan dengan menyaksikan wajah kota. Apa yang saya saksikan? Ketika melintasi jalan-jalan di kota ini selalu saya jumpai anak-anak mengais nafkah. Setiap kali mata memandang, hati saya menaruh iba menyaksikan mereka ‘hidup belum saatnya’. Pemandangan anak-anak di jalan-jalan kota harus diakui memang memilukan, tapi itulah fakta yang saya saksikan. Di kota pendidikan ini, anak-anak usia sekolah ternyata belum sepenuhnya menempuh bangku pendidikan. Di jalan-jalan kota, saya juga menyaksikan iklan-iklan luar ruang yang harus saya akui jauh dari unsur mencerahkan. Berjejal iklan produk rokok menyingkirkan pesan-pesan moral di ruang publik. Menurut saya, unsur yang bersifat mendidik dari iklan luar ruang di kota ini sangatlah minim.

Untuk mencari jawab atas pertanyaan di muka, saya beberapa kali juga melakukan observasi di sekolah-sekolah. Diutarakan guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah, perilaku kurang santun ternyata banyak dilakukan siswa. Perilaku coret-mencoret meja dan kursi tak lagi sungkan dilakukan sebagian dari mereka, lebih-lebih perilaku itu dilakukan di kamar mandi atau pun toilet.

Bahkan, di luar gedung sekolah, saya juga menyaksikan ‘perilaku tak biasa’ yang dilakukan sebagian siswa. Malah di warung-warung di dekat sekolah yang tak terpantau gurunya, anak-anak sekolah tak segan menyulut rokok. Tak cuma itu, ada juga di antara mereka berpasangan dengan lawan jenis dan tak merasa malu menunjukkan hubungan intimnya. Perilaku yang mereka praktikkan mungkin bukan hal yang aneh, tapi perilaku itu menurut saya menyisakan tanda tanya jika dilakukan oleh anak-anak sekolah seusia SMP. Boleh jadi ada juga yang mengatakan bahwa perilaku mereka adalah wajar dengan dalih modernitas.

Namun, apakah tolok ukur dari modernitas? Anak-anak usia sekolah sudah berani berciuman dan berpelukan di muka umum. Tubuh tidak lagi disakralkan, tetapi diumbar begitu saja. Jika dahulu bagian tubuh perempuan disentuh laki-laki terasa jijik, namun sekarang diremas-remas menjadi biasa. Ini kenyataan yang tak bisa dimungkiri. Anak-anak usia sekolah berbeda jenis kelamin saling berdekapan erat layaknya suami-istri. Bukan maksud menggeneralisir, tetapi kenyataan seperti itu terjadi di kota pendidikan ini.

Di kalangan mahasiswa ternyata tak jauh berbeda. Kos-kos mahasiswa seringkali digunakan untuk menginap dan tidur bersama antarlawan jenis. Lagi-lagi bukan untuk menggenelisir, tetapi setidaknya membuka mata kita terhadap kenyataan yang mengkhawatirkan. Masih banyak kos-kos mahasiswa di kota Yogyakarta tidak ada induk semang atau pemilik kos yang tinggal bersama dengan anak-anak kos. Lalu, bagaimana dengan tawuran antarpelajar?

Saya pernah mendengar kabar dari aparat polisi, tawuran dan adu kekuatan biasanya dilakukan sebagian siswa antarsekolah di tempat-tempat yang sepi dan lapang di malam hari. Biasanya warga sekitar yang tempatnya dijadikan ajang tawuran langsung melapor ke kantor polisi terdekat. Laporan warga tidak hanya terkait dengan tawuran, pesta miras yang dilakukan beberapa siswa sekolah di tempat-tempat sepi kadang tak luput dari perhatian warga. Ya, ada pesta miras yang dilakukan anak-anak sekolah di kota ini. Penyalahgunaan narkoba? Tidak bisa dimungkiri jika pelajar dan mahasiswa di kota Yogyakarta ini banyak juga yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Berbagai pihak pun prihatin dengan fakta yang memperlihatkan maraknya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa di kota pendidikan ini.

Dari apa yang saya saksikan di atas, saya belum menemukan jawab atas pertanyaan mengapa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan. Saya pun tanpa lelah terus mencari jawab. Dari hasil ujian nasionalkah? Dari data yang saya dapat, kota ini tidak masuk dalam urutan tiga besar peraih hasil terbaik dalam ujian nasional. Saya malah terhentak membaca berita di koran ini beberapa waktu silam. Kasus korupsi dana sekolah menimbulkan keprihatinan saya karena terjadi di kota Yogyakarta yang mendapat predikat sebagai kota pendidikan.

Ternyata jawaban atas pertanyaan saya tidaklah sulit. Berdialog dengan beberapa kalangan, saya menemukan jawab mengapa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan. Jawabnya sederhana, karena di kota ini banyak pelajar dan mahasiswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Kota Yogyakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi warga luar kota untuk mencari sekolah dan perguruan tinggi. Ada lagi jawaban selain itu, yakni banyak tokoh-tokoh nasional dulunya pernah menempuh pendidikan di kota ini. Atas dasar itulah kota Yogyakarta mendapat predikat sebagai kota pendidikan.

Namun demikian, jawaban yang saya dapatkan tersebut belum memuaskan saya. Terkait dengan upaya mempertahankan kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan, banyak berita yang saya baca menyebutkan bahwa pihak perguruan tinggi di kota ini tak henti-hentinya mempromosikan institusinya.

 Bencana gempa bumi silam, misalnya, memunculkan tantangan bagi dunia pendidikan di kota ini untuk mencitrakan diri kembali. Maraknya seks bebas dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar-mahasiswa tak luput menjadi pemantik untuk mencitrakan Yogyakarta yang tetap save dan kondusif untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Lalu, apakah sekadar berjubelnya pelajar dan mahasiswa yang belajar di kota Yogyakarta yang mendasari kota ini sebagai kota pendidikan? Masih tepatkah memaknai kota pendidikan sekadar dari banyaknya gedung-gedung sekolah dan perguruan tinggi?
kabarindonesia.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar