BERANDA

Sabtu, 27 Oktober 2012

MENGAPA ORANG INDONESIA BODOH ???


Sebenarnya saya hanya ingin mencari informasi tentang hal lain di Google, namun saat baru mengetik “mengapa orang in…” saja, langsung muncul kalimat “mengapa orang indonesia bodoh” di drop down menu Google dengan hasil pencarian sekitar 8,690,000 halaman. Membuat saya nyengir dan menjadi ingin tahu, mengapa kalimat ini banyak dicari orang.
Yah, membicarakan Indonesia selalu tidak ada habisnya. Minggu ini ada berita si anu ditangkap penegak hukum, minggu berikutnya isu hangat lain menjadi gantinya dan berita minggu lalu pun tenggelam. Isu-isu nasional pun umumnya habis hanya sebagai konsumsi media massa saja. Diuraikan dalam jutaan karakter di surat kabar dan ribuan jam diskusi omong kosong di televisi tanpa solusi berarti (padahal tarif iklan TV dalam satu menit saja bernilai jutaan). Korupsi tetap menjadi budaya massal, anti keberagaman masih menjadi ganjalan, kekerasan oleh pihak keamanan, preman berkedok pembela rakyat dan kehadiran kelompok-kelompok konservatif yang malah pro kekerasan.
Tidak Becus
Mengurusi sepakbola saja tidak becus. Bagaimana mau mengurusi negara? Begitu mungkin yang ada di dalam benak rakyat di negeri jiran.
Images: budiutomo.com
Mengapa orang Indonesia tidak becus mengurusi dirinya sendiri? Padahal kalau dilihat sejarahnya, sejak jaman Boedi Oetomo, sebagian warga bangsa yang beruntung seperti Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), Sutomo, Cipto Mangunkusumo dan tokoh-tokoh pelopor Kebangkitan Nasional lainnya adalah manusia-manusia cerdas lulusan institusi pendidikan terkenal dari dalam negeri maupun Eropa. Kita sudah punya lho warga negara bertitel S1, S2 dan S3 sejak lebih dari seratus tahun lalu. Jauh sebelum negara ini merdeka. Jauh sebelum tren dua puluh tahun terakhir ini di mana orang-orang Indonesia getol belajar di luar negeri. Ki Hajar Dewantoro pun menjalani pendidikan tingkat sarjana di Belanda sekitar seratusan tahun yang lalu!
Logikanya, pasokan orang pintar di Indonesia tentu sudah sangat luar biasa melimpah dalam kurun satu abad ini. Namun mengapa dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara ini tidak pernah menghasilkan sesuatu yang extraordinary? Sesuatu yang bisa menjadi ciri dan kebanggaan nasional? Suatu trademark yang dikenal dunia selain Piala Thomas, nasi goreng dan Indomie? Malaysia sangat bangga dengan Petronas Tower dan Proton, mobil nasionalnya. Bahkan Cina berhasil mengirim tim ke luar angkasa dengan pesawat angkasa luar buatannya sendiri. Lalu Korea terkenal dengan kemajuannya di bidang teknologi terapan seperti yang ditunjukkan oleh Samsung, yang saat ini menjadi brand Asia yang paling mencorong di dunia.
Saya kadang-kadang berpikir, kenapa dulu kita tidak membangun industri elektronika dan telekomunikasi saja daripada membuang-buang devisa untuk membangun industri pesawat yang jelas membutuhkan investasi sangat besar dengan return investment yang jauh dipandang dengan mata. Andaikata sebaliknya yang terjadi, mungkin saat ini orang-orang asing di mancanegara asyik menggunakan smartphone Android dengan merek Arjuna, Gombel, Tugu Muda, Becak Ontel atau nama-nama Indonesia lainnya yang mungkin terdengar lucu buat kita namun bisa jadi terkesan keren oleh kuping orang asing.
Telepon selular pertama di dunia diperkenalkan di Jepang pada tahun 1979. Diikuti oleh negara-negara maju yang telah mengimplementasikan teknologi 1G pada tahun 1983. Seharusnya, tren masa depan tersebut sudah bisa dibaca oleh kelompok elit negara ini dan diselidiki kemungkinan pengembangannya. Saya yakin orang-orang kaya dan pejabat elit Indonesia pada era 80-an tersebut sudah menggunakan telepon selular di mobil-mobil mewah mereka, atau minimal sudah terbiasa menyaksikan. Jadi, ini adalah masalah visi to? Atau mungkin saya terlalu naif. Mungkin saja pendekar-pendekar teknologi kita saat itu telah memiliki dan menyampaikan visi mereka. Namun disaat harga minyak sedang menjulang, bagi para perumus pembangunan tentu saja lebih seksi membahas proyek-proyek negara dan mengerat 30% kebocorannya (konon menurut Prof Soemitro Djojohadikoesoemo begitu…:-)) tinimbang meladeni visi para ahli tersebut.
Kebijakan Yang Salah Arah
Salah fokus kebijakan pembangunan bisa jadi menjadi alasan lain. Menjadi ironi bagi Indonesia yang terkenal sebagai negara dengan luas laut melebihi luas daratan, tetapi pemimpin negara malah memfokuskan pembangunan pada sektor pertanian dan industri. Akibatnya industri perikanan menjadi tidak kompetitif karena kebijakan negara yang tidak mendukung sektor ini. Sementara jumlah penduduk yang melimpah dan membutuhkan banyak lapangan kerja, yang dibangun malah industri-industri yang justru membutuhkan keterampilan khusus seperti industri pesawat terbang tersebut. Tentu saja, keterampilan tinggi berarti ekonomi biaya tinggi dan tidak banyak orang yang sanggup membiayai pendidikan hingga jenjang paling tinggi. Dalam salah satu hasil sensus nasional, kelas sosial ini ternyata hanya meliputi 6% dari total usia produktif bangsa Indonesia.
Kenapa kita tidak melakukan satu hal yang berbeda dengan negara lain? Ibarat toko, apabila kita membuka toko es krim di daerah Pinangsia, Glodok, pada musim kemarau yang terik akan lebih menarik pembeli daripada membuka toko keramik dan bersaing dengan usaha sejenis yang sudah mapan berpuluh-puluh tahun. Semestinya pembuat kebijakan pembangunan paham soal itu. Apabila negara ini dikelola oleh mereka yang memiliki naluri berdagang, tentu akan paham betul mengenai prinsip ‘make a difference’ tersebut. Sebagaimana yang disebutkan dalam teorientrepreneurship: apabila Anda tidak bisa menjadi penemu (inventor), maka jadilah pionir. Jadilah yang pertama sebelum copycat meniru jejak Anda. Sebelum orang lain sadar bahwa bidang usaha yang Anda pilih bisa menghasilkan uang.
Seorang pionir yang berhasil minimal akan lebih beruntung, yaitu apabila ketika banyak pengekor atau copycat yang kemudian meniru suksesnya hadir di pasar dengan produk dan jasa serupa. Pionir sebagai perintis usaha yang pertama kali itulah yang akan selalu dikenang oleh masyarakat. Istilah kerennya, telah menjadi household name. Sebagai contoh adalahPepsodent. Saya yakin apabila Anda membeli pasta gigi di warung sebelah, pasti Anda bertanya “Jual Pepsodent, pak?” dan bukan “Punya pasta gigi, pak?” karena memang Pepsodent sudah menjadi nama generik.
Kenapa juga kita harus pusing-pusing membangun sesuatu yang sudah dikerjakan negara lain? Ibaratnya, tidak perlu lah kita memiliki pabrik produsen peniti dan gunting kuku, kalau Cina mampu mengekspor dan kita bisa membeli dengan harga murah. Tidak perlu kita membuat mobil nasional kalau memang tidak efisien dan lebih murah dengan membeli. Lebih baik pikiran dan sumber daya digunakan untuk menghasilkan produk lain yang lebih menguntungkan, kompetitif dan bisa dijual di pasaran internasional. Nasionalisme kok menjadi begitu mahal, kalau demi harga diri harus membangun industri mobil sendiri. Sementara tren dunia saat ini sudah mengarah pada produksi mobil hybrid, kita malah menggebu-gebu ingin memulai memproduksi mobil konvensional yang oleh industri asing pada dasarnya sudah mereka lakukan puluhan tahun lalu.
Hidup adalah longtime learning
Kembali ke isu awal, mengapa orang Indonesia bodoh? Saya berpendapat olok-olok itu tidak perlu terjadi andaikata negara ini tidak salah fokus dalam membangun diri.
Andaikata pemimpin negara tahu bagaimana cara menghasilkan devisa dan mengalokasikan hasilnya agar rakyat memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, tentu tidak akan banyak manusia-manusia yang korup dan serakah, serta korupsi juga tidak menjadi budaya nasional. Melimpahnya lapangan pekerjaan logikanya pasti akan menurunkan angka pengangguran dan kriminalitas. Demo-demo pun tidak akan laku karena semua orang mempunyai kesibukan nyata dan tidak akan berminat untuk berpanas-panasan demi upah lima puluh ribu rupiah.
Apabila pengelola negara sadar bahwa uang rakyat juga wajib dialokasikan untuk membangun fasilitas umum agar warga masyarakat dan anak muda punya tempat hang-out sepulang sekolah untuk bermain dan berolah raga di taman terbuka di kampungnya sendiri, tentu mereka tidak perlu roaming di jalanan kota sambil membawa batu, parang dan saling baku hantam dengan sesamanya.
Apabila keterampilan dan keahlian individu dihargai dengan sewajarnya di mana pun kita pernah menuntut ilmu dan tidak hanya memberi tempat bagi mereka yang meraih nilai akademik bagus atau berasal dari universitas ternama semata, tentu lapangan kerja tidak hanya didominasi kelompok elite masyarakat tertentu. Bukankan nilai ujian bisa dari mencontek dan masuk perguruan tinggi negeri pun bisa nyogok to? walaupun istilahnya dihaluskan menjadi “sumbangan pembangunan pendidikan”
. Karena hidup adalah longtime learning. Proses belajar tidak boleh berhenti pada saat selesai diwisuda saja, bukan?
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana dengan diri kita sendiri? Banyak hal sederhana yang bisa kita mulai. Misalnya buang sampah pada tempatnya, jangan merokok di depan perempuan dan anak-anak atau jangan menyogok saat ujian SIM. Silahkan berdebat dengan polisi lalu lintas kalau memang merasa benar tapi jangan menyuap. Saat mengurus paspor, tunggu saja sesuai aturan. Jangan pernah minta diproses instan 1 hari selesai dengan cara menyuap petugas loket Imigrasi karena besok mau berangkat ke luar negeri. Serius bung, begitu pentingnya kita berangkat dari hal-hal yang sederhana tersebut. Mengapa? Karena banyak orang Indonesia sudah lupa warna hitam dan putih. Sudah tidak takut soal halal dan haram. Sudah tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang bathil. Yang penting selamat, yang penting bisa hidup enak, bisa bayar semua tagihan dan biaya sekolah anak.
Ayo, mari kita mulai belajar menebar kebaikan dari hal-hal sederhana itu saja. Secara konsisten, sedini mungkin, semuda mungkin. Dan cukup memulai dari diri kita sendiri.
Jadi, kenapa dong orang Indonesia bodoh? …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar